Akidah, Syariah, dan Akhlak: Tiga Pilar yang Menjadi Jiwa Pendidikan Islam

Oleh: Dr. Yusep Rafiqi, S.Ag., M.M., C.WC
Pendidikan Islam tidak hanya berbicara tentang ilmu pengetahuan, tapi juga tentang bagaimana membentuk manusia seutuhnya. Sejak awal, Islam telah menekankan bahwa pendidikan bukan hanya soal kecerdasan intelektual, tetapi juga tentang hati yang lurus, amal yang benar, dan akhlak yang mulia. Tiga pilar utama yang menjadi jiwa pendidikan Islam adalah akidah, syariah, dan akhlak. Ketiganya ibarat tiga tiang yang menyangga bangunan besar bernama kehidupan seorang Muslim.
Pendidikan Islam dipandang sebagai upaya menyeluruh untuk membentuk insan yang seimbang antara akal, ruh, dan jasad. Jika pendidikan modern cenderung menitikberatkan pada aspek intelektual dan keterampilan teknis, maka pendidikan Islam menggabungkan dimensi spiritual, moral, dan sosial dalam satu kesatuan. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
"وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا"
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.” (QS. al-Qashash [28]: 77).
Ayat ini menegaskan bahwa pendidikan Islam mengarahkan manusia untuk tidak hanya sukses di dunia, tetapi juga selamat di akhirat. Oleh karena itu, akidah, syariah, dan akhlak menjadi fondasi utama agar ilmu yang diperoleh tidak hanya melahirkan kecerdasan, tetapi juga menghasilkan pribadi yang beriman, bertakwa, dan berkontribusi positif bagi masyarakat.
1. Akidah: Pondasi Keimanan
Akidah adalah fondasi utama. Tanpa akidah yang lurus, semua amal akan kehilangan arah. Akidah mengajarkan kita siapa Allah, bagaimana mengenal-Nya, dan bagaimana meneguhkan iman dalam hati.
Imam Abu Hanifah pernah berkata:
"الإيمان هو الإقرار باللسان والتصديق بالجنان"
“Iman adalah pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.”【1】
Artinya, iman tidak cukup hanya diucapkan, tapi juga harus diyakini dalam hati. Inilah yang membedakan pendidikan Islam dari pendidikan sekuler. Seorang pelajar Muslim diajarkan sejak dini untuk meyakini Allah sebagai pusat kehidupannya.
Dalam konteks pendidikan modern, akidah dapat dipandang sebagai orientasi nilai yang menjaga arah perkembangan ilmu dan teknologi. Dunia saat ini dipenuhi dengan arus informasi, kebebasan berpikir, dan percepatan inovasi. Tanpa fondasi akidah, ilmu pengetahuan berisiko kehilangan dimensi etis dan spiritual, sehingga bisa digunakan untuk tujuan yang salah, seperti merusak lingkungan, menindas sesama, atau mengejar keuntungan sesaat tanpa memperhatikan nilai kemanusiaan. Dengan akidah yang lurus, seorang pelajar Muslim tidak hanya menguasai sains dan teknologi, tetapi juga memahami bahwa ilmu adalah amanah dari Allah yang harus dipergunakan untuk kebaikan umat manusia. Pendidikan modern yang dipandu akidah akan melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual sekaligus memiliki integritas moral dan spiritual.
2. Syariah: Jalan Hidup yang Teratur
Setelah akidah, datanglah syariah. Kalau akidah ibarat fondasi rumah, maka syariah adalah tata aturan yang menjadikan rumah itu layak dihuni. Syariah bukan beban, tapi petunjuk jalan agar hidup manusia tidak tersesat.
Imam al-Syafi’i menegaskan pentingnya mengikuti syariat:
"عليكم بطلب العلم، فإنه السبيل إلى معرفة الحلال والحرام"
“Wajib atas kalian menuntut ilmu, karena ia adalah jalan untuk mengetahui mana yang halal dan mana yang haram.”【2】
Dalam dunia pendidikan, syariah dapat dipahami sebagai kerangka etika dan tata aturan yang membentuk perilaku manusia agar selaras dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Jika pendidikan sekuler sering menekankan pencapaian akademik dan keterampilan praktis, maka pendidikan Islam melalui syariah menambahkan dimensi moral-spiritual sehingga kecerdasan tidak hanya menghasilkan kepandaian, tetapi juga kebijaksanaan dalam bertindak. Seorang pelajar yang memahami prinsip syariah akan terbiasa bersikap jujur dalam ujian, adil dalam pergaulan, disiplin dalam waktu, serta bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan. Dengan demikian, syariah dalam pendidikan modern menjadi penyeimbang antara kecerdasan intelektual dengan keutuhan karakter, sehingga lahir generasi yang bukan hanya pintar, tetapi juga mampu mengelola hidup dan berkontribusi positif bagi masyarakat secara beradab.
3. Akhlak: Buah dari Iman dan Amal
Jika akidah adalah akar, syariah adalah batang, maka akhlak adalah buah. Rasulullah ﷺ diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dalam sebuah hadis beliau bersabda:
"إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ"
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”【3】
Akhlak adalah wajah sejati seorang Muslim. Ilmu yang tinggi dan ibadah yang banyak akan kehilangan makna jika tidak disertai akhlak mulia. Pendidikan Islam tidak hanya mencetak orang yang cerdas, tapi juga orang yang beradab.
Akhlak adalah wajah sejati seorang Muslim, karena dari akhlaklah orang lain menilai kualitas iman dan ilmu seseorang. Seseorang yang memiliki ilmu tinggi tetapi akhlaknya buruk justru bisa menjadi sumber kerusakan, sementara orang yang berilmu sederhana namun berakhlak mulia akan selalu membawa manfaat bagi lingkungannya. Begitu juga ibadah, sebanyak apa pun shalat, puasa, atau sedekah yang dilakukan, semua akan kehilangan makna apabila tidak membuahkan kejujuran, kasih sayang, dan kerendahan hati. Di sinilah pendidikan Islam memiliki misi yang lebih luas dibandingkan sekadar mencetak manusia cerdas. Ia berusaha melahirkan pribadi yang beradab: santun dalam berbicara, adil dalam mengambil keputusan, tawadhu’ dalam meraih kesuksesan, dan peduli terhadap sesama. Rasulullah ﷺ sendiri menegaskan bahwa ukuran kesempurnaan iman seseorang terletak pada akhlaknya yang paling baik. Dengan demikian, pendidikan Islam sejati adalah pendidikan yang tidak hanya membangun kecerdasan intelektual, tetapi juga menanamkan karakter mulia sehingga ilmu dan ibadah benar-benar menjadi cahaya, bukan sekadar hiasan kosong.
Keterpaduan Tiga Pilar
Tiga pilar ini tidak bisa dipisahkan. Akidah tanpa syariah ibarat keyakinan tanpa arah. Syariah tanpa akhlak bisa menjadikan seseorang kaku dan keras. Sementara akhlak tanpa akidah akan rapuh karena tidak punya landasan iman.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menulis:
"الدين أصل، والسلطان حارس، وما لا أصل له فمهدوم، وما لا حارس له فضائع"
“Agama adalah pondasi, sedangkan aturan (syariah) adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa pondasi akan runtuh, dan sesuatu yang tanpa penjaga akan hilang.”【4】
Begitu pula dalam pendidikan Islam, jika ketiga aspek ini berjalan bersama, lahirlah generasi yang tidak hanya cerdas pikirannya, tapi juga kuat imannya dan mulia akhlaknya.
Relevansi di Zaman Modern
Di era teknologi dan globalisasi, banyak anak muda terjebak pada dunia yang serba instan dan dangkal. Pendidikan Islam hadir untuk menyeimbangkan. Akidah meneguhkan hati, syariah menuntun amal, dan akhlak memperindah kehidupan sosial.
Seorang Muslim yang berpegang pada tiga pilar ini akan menjadi manusia yang:
Kuat imannya → tidak mudah goyah meski dihantam ideologi asing.
Benar amalnya → tidak hanya pandai, tapi juga tahu batas halal-haram.
Indah akhlaknya → mampu menghadirkan kedamaian di tengah masyarakat.
Penutup
Pendidikan Islam sejatinya adalah proyek besar untuk membentuk manusia seutuhnya. Akidah sebagai pondasi, syariah sebagai jalan hidup, dan akhlak sebagai buah yang manis. Jika ketiga pilar ini tertanam kuat dalam jiwa pelajar Muslim, maka mereka akan tumbuh menjadi generasi yang cerdas, beriman, dan berakhlak mulia—generasi yang mampu membawa rahmat bagi semesta.
Sebagaimana pesan Imam Malik rahimahullah:
"لا يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها"
“Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat baik generasi awalnya.”【5】
Artinya, pendidikan Islam yang berlandaskan akidah, syariah, dan akhlak tetap relevan sepanjang zaman.
Daftar Pustaka
Abu Hanifah, al-Fiqh al-Akbar. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007.
Al-Bayhaqi, Ahmad bin Husain. Manaqib al-Syafi’i. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.
Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad. Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2001, no. 8595.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Kairo: Dar al-Hadith, 2004, Juz 1, hal. 11.
Al-Syatibi, Abu Ishaq. Al-I‘tiṣām. Riyadh: Dar Ibn Affan, 1997, Juz 1, hal. 49.
Bagikan :